[Kisanak : Memanggil ] Penjalaan bersama Ki Pangku


Sangat bingung saat menjejaki tapak kaki di nagari ini,

tatkala ingin mencari ikan di penghujung waduk nagari ini,

terpampang hubaya hubaya yang dituliskan pada kain kaku bertulis "dilarang menebar ikan disini"..


Lantas ku tanya Ki Pangku, Sang ksatria legendaris yang telah pensiun. Dia lah yang mengantarkan ku sampai kesini.

" Ki, kenapa kita tidak boleh menebar ikan disini (?)"

"Tak Tahu Kisanak, mungkin sudah peraturannya begitu"..

Lantas Ki Pangku mengajak langsung ke tepi waduk, airnya cukup jernih namun sepertinya dangkal.. Sepanjang tepi ujung permukaan air waduk ini diselimuti enceng gondok,

air waduk berselimuti hiasan hijau alami dan beberapa gerak-gerik air.


Kami berdua mulai mempersiapkan 

perkakas untuk melakukan penjalaan ini.

Tongkat besi, seutas tali dan kail kuningan. Sudah ada di tangan.


Ki Pangku menunjuk-nunjuk ke arah enceng gondok yang telah dibuat kubangan, katanya di sana tempat yang ada ikan.


Hamba ada di sebelah selatan sedangkan Ki Pangku ada di sebelah Utara.


Nampaknya Ki Pangku mulai sibuk dengan gawainya. hanya berangguk-angguk dan memainkan tongkat yang dipegannya.


Hamba mulai melempar benang yang sebelumnya diikat sebuah cacing kecil, tampak disebelah agak menjorok ke tengah ada seekor ikan yang lumayan besar, warna sisik putih ke merah-merahan. Bukan malah memakan umpan yang telah dipasangan, ikan menjauh menolak untuk bercengkrama dengan umpan yang telah disiapkan. Tampaknya ia enggan, mungkin belum saling mengenal saja.


Karena ikan menjauh menjorok ke tengah, melampaui jarak yang bisa dikenai. Maka, Hamba ingin ambil tongkat besi lainnya yang lebih panjang, supaya ikan dapat mudah digapai.


Perlahan melangkah agak ke utara untuk meninjau perkakas, mengambil tongkat besi lainnya yang lebih panjang di keranjang.


Ki Pangku masih saja sibuk, sekarang keberadaannya lebih dekat, ada disebelah kanan hamba.

Katanya ada ikan besar, sapa Ki Pangku yang mulai kegirangan.


Tadi hamba lihat ikan juga, tapi ukurannya kecil, seperti jari kelingking. Umpan di ujung kail dicumbunya tetapi tak sampai bisa ditarik benang karena tak menyangkut pada cucuk ikan itu.


Hamba tetap sibuk dengan mempersiapkan umpan pada kail.

menali benang-benang dengan jeli nan teliti agar benang tak putus saat nanti.


Ki Pangku terus menggerak-gerakkan tongkat keatas-kebawah, Ikan incarannya tak kunjung didapat.


Hamba masih menali dengan seksama. Hamba lihat dari kejahuan di hujung tepi barat waduk, seseorang yang memikul jerami dengan karung bawaannya.

"Oh mungkin, orang sini" dalam hati berbicara.


Tiba-Tiba, berteriak. " Hey ! Ikannya Jangan dipancing, kemarin baru saja ikan ditebar".


Ki Pangku mulai mengerut, hamba pun juga.

Ki Pangku juga menyorak " Ampun Paman !!! Maaf, kami hanya ingin menjala ikan kecil-kecil"..

Langsung seketika itu pun, menarik benangnya dan berkemas-kemas.


Orang yang dari kejauhan tadi mulai mendekat, dan menghampiri kami.


" Sudah dari tadi ada yang menjala disini, kemarin ikan baru ditebar. Ikan yang ditebar besar-besar. Tadi ada yang mendapat 4 ekor, saya langsung suruh pulang" (penjelasan orang itu yang tampak lesu)


"Saya lupa memberi woro-woro, masih dipersiapkan kemarin belum sempat, tidak ada waktu. Kemarin orang-orang dari prasraman yang menebar ikan-ikan besar ini. Tampaknya lebih baik saudara ke sungai sebelah disana, ada banyak ikannya" (lanjut orang itu).


"Kemarin, kami kemari. Memancing ikan-ikan kecil. Saya tak tahu. saya lebih baik mengurungkan niat saja tidak apa-apa, dari ada apa-apanya nanti kedepan, Maaf sekali lagi Paman." Sambut Ki Pangku.


Kami berdua langsung berkemas. Bergegas dan menaiki kuda.


"Kau tak Curiga Ki ?, mana ada orang Prasraman memelihara ikan ?", suara hamba yang berselang-seling dengan suara-suara batu yang diijak kaki kuda.


" Entah, Saya Tak tahu. Mari mencari tempat lain saja Kisanak". Jawaban Ki Mangku, sambil memacu kudanya.


Hamba masih memikirkan ada hal apa, semenjak kapan orang prasraman memelihara ikan(?), apalagi tujuannya untuk dimakan, sungguh sangat terasa aneh. (Tanya dalam hati).


Kami menuruni perbatasan, melewati sungai kecil di seberang untuk menuju sungai yang lebih besar. Ki Pangku, terus memacu Kudanya dan menujukkan jalan.


Berbelok ke utara dan Ke Timur, melewati pengrajin bata, melewati surau kecil, melewati tegal sari bumi, dan suara kaki kuda menginjak batu kian terdengar.


Lumayan Jauh, deru air sungai sudah terasa.


Kami menuruni dengan perlahan.

Bertemu dua pemuda yang selesai menjala, katanya tak ada ikan disini.


Kami telah lelah berkuda.


"Sudah tak ada tempat lagi Kisanak, disini saja" Ucap Ki Pangku.


Kuda pun kami tali, lalu diistirahatkan.

Perlahan kami membongkar keranjang, lalu menyusuri tepi sungai.


Arus sungai kian menemani. Kail dan penjalaan berlomba dengan senja hari, tampaknya sudah ingin malam, dan sinar akan tenggelam.


Kami hanya menatapi arus sungai dan benang-benang, masih berpikir juga tentang apa yang diucapkan orang diwaduk itu yang mencari jerami.


Hanya bisa menikmati ini, Arus Sungai yang kian semu. Malam kian ingin bertemu, Ikan - Ikan tak nampak menyapa tamu.


Sepertinya, nagari ini sudah jauh berubah. Sedari dulu pernah kesini.


Hamba terus menikmati arus sungai, suasana ini. Sembari membaca kitab yang tertunda untuk dibaca..

Share:

0 komentar