Watu Cuil

 



Watu Cuil

Sekilas dari jalan pulang setelah melihat pengrajin batik di Baska. Kisanak langsung mengambil jalan pulang melalui gang kecil di pasar tamanan, yang terdapat lintasan kereta usang di sebelah kanan dan dua buah pohon besar di sebelah kiri pasar sapi.
Melintasi ladang-ladang yang biasanya tersapu angin kencang, petir menyambar dan di sebelah dekat pasraman kisanak.
Sampai di pedukuhan daringan, bertemu seseorang yang tampak melihat-lihat batu. Dari kejauhan orang itu menyapa, bersenyum ramah. Melihat batu-batu lebih lanjut. Lalu menghampiri dan bersalaman. Rambut gimbalnya tak seseram senyumannya.
- "Saya dari Singosari, Kisanak. "
(Tampangnya yang berceria ramah, dan terselip beberapa lencana. Tampak ku kenal lencana-lencana ini. Takjelas, yang jelas ini dari berbagai daerah-daerah. Ada dari pesisir, Kadhiri, trowulan, dan sepertinya juga dari alas purwo. Ada juga dari bambu kecil.)
- Lantas Kisanak menjawab. "Wah, Kisanak ada Uwa di sana. Dekat Arjosari kebarat. Ngijo."
- Ngijo ? (orang ini mulai terheran)
- Ya .. Ada jalan turunan sebelah kanan. (Kisanak melanjutkan pembicaraan)
- Wah, saya di Ngenep, Kisanak.
(Ternyata orang ini berdekatan dengan rumah Uwa Kisanak, yang rumahnya terdapat banyak wawayangan).
Lanjut bercerita orang ini meminta izin untuk membakar dupa.
- Boleh saya bakar dupa disini, kisanak ?
- Kalau ini batu tiruan, Mas. lebih baik disana saja. (Lalu kisanak menunjuk dibalik rumah tak berpenghuni itu)
Setelah itu, orang ini mengikat kudanya pada pohon jambu. Kisanak memastikan bahwa kuda dibiarkan disana, aman.
Lalu kami berjalan kaki sambil beberapa langkah bercerita. Kisanak menceritakan kalau di negeri ini terdapat ribuan batu yang ditinggalkan oleh leluhur. Kalau kakanda berjalan kaki dari sini sampai ke ujung timur sana, maka akan terus menemui batu tinggalan. Disetiap wanua negeri ini pasti terdapat tinggalan batu leluhur. Begitu kisanak menjelaskan ke orang ini.
Kami telah sampai di Batu Pandusa, salah satu batu tinggalan leluhur yang terdiri dari bongkahan batu yang ditompang oleh batuan kecil. Orang ini langsung melepas alas kakinya. Begitu khidmat, bersimpuh dan membakar dupa.
Beberapa menit orang ini bercengkrama dengan batu, entah apa yang obrolkannya.
- "Ini batu berharga sekali kisanak." (begitu jelasnya).
Langsung memakai alas kaki lagi, lalu melanjutkan langkah kaki kesebelahnya.
Cakrawala mulai membuka dan siup-siup argopuro yang tertutup awan, terlihat.
Rerumput yang menghijau berkemilap, orang ini kembali melepas alas kakinya.
Melangkahkan kaki tanpa alas kaki, menuju batu nyai.
- "Gunung disebelah sana Gunung apa ? "(orang itu).
- "Itu Gunung Argopuro. " (Kisanak menjawab)
Lalu, bersimpuh.
Dengan khidmat.
Membakar dupa.
Gawai kisanak, mati (batrai habis jadi tak dapat merekam)
Dupa sudah mengempul, membuat harum udara. Dan langit perlahan menetes, gerimis kecil-kecil tapi seingat kisanak tak ada angin. Gerimisnya sangat kecil.
Dan Lintasan alam semesta sepertinya perlahan membuka.
Orang itu tetap khidmat, bercengkrama dalam simpuhnya.
Terus beberapa menit. Burung-burung mulai berbunyi. Melihat lingkungan sekitar, tampaknya tempat ini yang hanya gerimis.
Orang itu mulai mengangkat badannya, dan mulai berjalan kaki menaruh dupa ke berbagai sudut petak tanah ini yang terdapat banyak batu tinggalan leluhur.
Bau cenda sudah menyelimut badan dan udara.
Orang itu tetap khidmat dan bercengkrama dengan batu.
Lalu menghampiri kisanak, duduk disamping.
Setelah itu, gerimis mulai mereda.
- "Batu ini sangat luar biasa kisanak. Syukurlah masih terjaga, masih ada."
- "Batu ini awalnya dipindahkan kakanda. Hanya batu yang membentuk persegi dan batu pandusa itu yang tak dipindahkan, kalau batu nyai dipindahkan dari sebelah barat dekat pohon kecil itu, gara-gara orang asing".
- "iyaa, batu itu juga sepertinya dipindahkan" (nampaknya orang ini tahu)
Orang ini menceritakan dirinya bahwa sedang berkelana, sebelumnya dari tawangalun lalu melewati Gumitir. Beliau bersamadi dan belum makan. Pernah ditawari makan oleh orang disana, tetapi menolak karena takut tak bisa melanjutkan perjalanan. Beliau ingin ke Alas Purwo namun belum waktunya.
- "Ini Batu Sangat luar biasa kisanak, ini bukan sembarang batu. Jika dimalam hari terkena angin akan keluar asap. Hanya batu-batu khusus yang diperuntukkan seperti ini. Ini batu berasal dari perut bumi lalu membatu.
Batu-batu ini langsung membatu dari dalam gunung isi perut bumi yang sangat panas.
Dari bongkahan batu, lalu perlahan (cuil) patah menjadi batu kecil.
Sama hal nya manusia yang merupakan bagian kecil dari bumi ini, kisanak.
hingga ini menjadi manifestasi atas diri kita terhadap alam semesta.
Inilah sesuatu yang bisa menjadi portal Alam Semesta.
Tetapi beberapa manusia tidak bisa memaknai arti ini kisanak.
Dikadhiri saja candi diruntuhkan diratakan.
Sehingga, hamba hanya bisa mengeluh dalam hati.
Wahai Ibu Pertiwi maafkanlah anak-anakmu ini."
Begitu kakanda ini bercerita, dari kejahuan burung perkutut tampak bertengger dan berbunyi.
Tak sadar ternyata gerimis telah usai.
"Lihat itu kisanak, Ada burung perkutut. Jangan kau bunuh burung seperti itu. Karena biasanya sukma leluhur bersama mereka"
Sambil menimati bunyi suara perkutut dan burung-burang lain yang saling bersahut-sahutan, orang ini lanjut bercerita.
Kemudian bersedekah 20 kepeng.
Dan melanjutkan perjalanan bersama kudanya.

Share:

0 komentar